Minggu, 27 Februari 2011

PENDEKATAN PEMBELAJARAN OPEN ENDED


Pengertian Open-Ended
Menurut Suherman dkk (2003 :: 123) problem yang diformulasikan memiliki multi jawaban yang benar disebut problem tak lengkap atau disebut juga Open-Ended problem atau soal terbuka. Siswa yang dihadapkan dengan Open-Ended problem, tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada cara bagaimana sampai pada suatu jawaban. Dengan demikian bukanlah hanya satu pendekatan atau metode dalam mendapatkan jawaban, namun beberapa atau banyak.     Sifat “keterbukaan” dari suatu masalah dikatakan hilang apabila hanya ada satu cara dalam menjawab permasalahan yang diberikan atau hanya ada satu jawaban yang mungkin untuk masalah tersebut. Contoh penerapan masalah Open-Ended dalam kegiatan pembelajaran adalah ketika siswa diminta mengembangkan metode, cara atau pendekatan yang berbeda dalam menjawab permasalahan yang diberikan bukan berorientasi pada jawaban (hasil) akhir.
Pembelajaran dengan pendekatan Open-Ended diawali dengan memberikan masalah terbuka kepada siswa. Kegiatan pembelajaran harus mengarah dan membawa siswa dalam menjawab masalah dengan banyak cara serta mungkin juga dengan banyak jawaban (yang benar), sehingga merangsang kemampuan intelektual dan pengalaman siswa dalam proses menemukan sesuatu yang baru.
Tujuan dari pembelajaran Open-Ended Problem menurut Nohda (Suherman, dkk, 2003; 124) ialah untuk membantu mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematik siswa melalui problem posing secara simultan. Dengan kata lain, kegiatan kreatif dan pola pikir matematik siswa harus dikembangkan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan setiap siswa.
Pendekatan Open-Ended menjanjikan kepada suatu kesempatan kepada siswa untuk meginvestigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya sesuai dengan kemampuan mengelaborasi permasalahan. Tujuannya tiada lain adalah agar kemampuan berpikir matematika siswa dapat berkembang secara maksimal dan pada saat yang sama kegiatan-kegiatan kreatif dari setiap siswa terkomunikasi melalui proses pembelajaran. Inilah yang menjadi pokok pikiran pembelajaran dengan Open-Ended, yaitu pembelajaran yang membangun kegiatan interaktif antara matematika dan siswa sehingga mengundang siswa untuk menjawab permasalahan melalui berbagai strategi.
Dalam pembelajaran dengan pendekatan Open-Ended, siswa diharapkan bukan hanya mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada proses pencarian suatu jawaban. Menurut Suherman dkk (2003:124) mengemukakan bahwa dalam kegiatan matematik dan kegiatan siswa disebut terbuka jika memenuhi ketiga aspek berikut :
·         Kegiatan siswa harus terbuka
Yang dimaksud kegiatan siswa harus terbuka adalah kegiatan pembelajaran harus mengakomodasi kesempatan siswa untuk melakukan segala sesuatu secara bebas sesuai kehendak mereka.
·         Kegiatan matematika merupakan ragam berpikir
Kegiatan matematik adalah kegiatan yang didalamnya terjadi proses pengabstraksian dari pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari ke dalam dunia matematika atau sebaliknya.
·         Kegiatan siswa dan kegiatan matematika merupakan satu kesatuan
Dalam pembelajaran matematika, guru diharapkan dapat mengangkat pemahaman dalam berpikir matematika sesuai dengan kemampuan individu. Meskipun pada umumnya guru akan mempersiapkan dan melaksanakan pembelajaran sesuai dengan pengalaman dan pertimbangan masing-masing. Guru bisa membelajarkan siswa melalui kegiatan-kegiatan matematika tingkat tinggi yang sistematis atau melalui kegiatan-kegiatan matematika yang mendasar untuk melayani siswa yang kemampuannya rendah. Pendekatan uniteral semacam ini dapat dikatakan terbuka terhadap kebutuhan siswa ataupun terbuka terhadap ide-ide matematika.
Pada dasarnya, pendekatan Open-Ended bertujuan untuk mengangkat kegiatan kreatif siswa dan berpikir matematika secara simultan. Oleh karena itu hal yang perlu diperhatikan adalah kebebasan siswa untuk berpikir dalam membuat progress pemecahan sesuai dengan kemampuan, sikap, dan minatnya sehingga pada akhirnya akan membentuk intelegensi matematika siswa.

B.  Open-Ended Problems dalam Matematika

Banyak orang yang berpendapat bahwa matematika itu adalah ‘ilmu’ yang pasti. Masalah-masalah atau persoalan matematika dapat diselesaikan dengan prosedure yang jelas, terurut, dan saklek. Hal itu berbeda dengan ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Dalam ilmu-ilmu sosial, untuk menyelesaikan suatu permasalahan tak ada prosedure pasti yang dapat digunakan Benarkah pendapat itu? Benarkah permasalahan matematika dapat diselesaikan dengan prosedure yang pasti?
Terlepas benar tidaknya, sepertinya banyak orang yang setuju dengan pendapat tersebut. Termasuk guru-guru di sekolah mempercayainya. Baik guru-guru dari bidang ilmu-ilmu sosial ataupun para guru matematika sendiri mempercayai akan pendapat tersebut. Percayanya mereka tentu bukan sekadar percaya. Tapi percayanya mereka karena sebab-sebab tertentu.
Sebab yang pertama. Bisa jadi karena pengalaman mereka. Ya, pengalaman semasa mereka menjadi siswa, mahasiswa, dan hingga menjadi guru. Mereka terbiasa dengan pembelajaran matematika yang prosedural, algoritmik, dan saklek. Pengalaman belajar matematika mereka ‘membuktikan’ bahwa soal-soal atau permasalahan matematika itu hanya dapat diselesaikan dengan prosedur yang pasti. Sedangkan permasalahan ilmu-ilmu sosial tidak demikian. Sebab yang kedua Bisa jadi karena mereka terpengaruh oleh teori-teori belajar “kuno” yang pernah mereka dapatkan semasa menempuh pendidikan. Pengaruh teori ini begitu membekas dalam diri mereka, apalagi ditunjang dengan pengalaman nyata mereka semasa belajar matematika. Maka sangat wajar bila mereka mempercayai pendapat yang dikemukakan pada paragraf pertama di atas.
Sebetulnya, pendapat yang dikemukakan pada paragraf pertama di atas tidak sepenuhnya benar. Ya, matematika tidak sepenuhnya benar bila dikatakan sebagai ilmu yang prosedural, pasti, dan saklek. Kenapa bisa begitu?
Sama halnya seperti ilmu-ilmu sosial, permasalahan atau soal-soal dalam matematika pun secara garis besar dapat diklasifikasi menjadi dua bagian. Yang pertama adalah masalah-masalah matematika tetutup (closed problems). Dan yang kedua adalah masalah-masalah matematika terbuka (open problems).
Yang selama ini muncul di permukaan dan banyak diajarkan di sekolah adalah masalah-masalah matematika yang tertutup (closed problems). Di mana memang dalam menyelesaikan masalah-maslah matematika tertutup ini, prosedure yang digunakannya sudah hampir bisa dikatakan standar alias baku. Akibatnya timbul persepsi yang agak keliru terhadap matematika. Matematika dianggap sebagai pengetahuan yang pasti, prosedural, dan saklek.
Sementara itu, masalah-masalah matematika terbuka (open problems) sendiri hampir tidak tersentuh, hampir tidak pernah muncul dan disajikan dalam proses pembelajaran matematika di sekolah. Akibatnya bila ada permasalahan matematika macam ini, soal atau permasalahan itu dianggap ’salah soal’ atau soal yang tidak lengkap.
Secara sederhana, open problems sendiri dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Yakni open-ended problems dan pure open problems. Untuk open-ended problems sendiri dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Yakni: (1) problems dengan satu jawaban banyak cara penyelesaian; dan (2) problems dengan banyak cara penyelesaian juga banyak jawaban.
Apa bedanya closed problems dan open problems?
Saya tak akan mendefinisikan bedanya! Namun saya hanya akan memberikan sebuah contoh untuk hal ini. Khusus untuk open problems, saya hanya akan memberi contoh yang termasuk open-ended problems.
Contoh closed problems (cocok untuk siswa SD kelas 3).
Seekor sapi yang diniatkan untuk dikurbankan ‘berat’nya 500 kg. Berat sapi ini sama dengan berat 20 orang anak-anak. Berapa rata-rata berat masing-masing anak?
Soal ini termasuk closed problems karena dengan prosedur yang standar, yakni pembagian , kita dengan pasti dapat menentukan rata-rata berat masing-masing anak. Dan ini jelas merupakan soal yang berupa satu cara dan satu jawaban. Makanya soal ini termasuk dalam kelompok closed problems.
Soal barusan, dengan sedikit “sentuhan “, dapat diubah menjadi sebuah soal yang termasuk dalam kelompok open-ended problems sehingga menjadi soal berikut ini.
Seekor sapi yang ‘berat’nya 500 kg akan dikurbankan. Setara dengan berapa orang anak-kah ‘berat’ sapi tersebut?
Soal ini termasuk dalam open-ended problems karena kita tidak secara pasti tahu prosedure untuk menjawab soal ini. Bila dipikir-pikir, soal ini akan mengundang banyak cara dan juga banyak jawaban. Soal semacam ini amat jarang diberikan. Dan kalaupun ada, jaman dulu dianggap sebagai soal yang tidak lengkap (alias dianggap sebagai “salah soal”).
Padahal, soal semacam ini menuntut kreativitas kita dalam menjawabnya. Soal semacam ini pun menuntut kita untuk berfikir lebih ketimbang hanya mengingat prosedure baku dalam menyelesaikan suatu masalah. Untuk menyelesaikan masalah ini, kita tak dapat langsung begitu saja menjawabnya. Soal ini menuntut kita berpikir lebih cerdas. Menuntut kita untuk melakukan perencanaan sebelum mendapat jawaban. Soal ini menuntut kita agar dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan jawaban. Pun mengantisipasi berbagai cara yang mungkin dilakukan untuk menjawabnya. Pendeknya, soal ini melatih kita untuk menggunakan penalaran dan kreativitas. Ya, tak sekedar hanya menghafalkan prosedur menjawab seperti biasanya. Menurut Sawada (1997), bila open-ended problems semacam soal tadi diberikan pada para siswa di sekolah, setidaknya ada lima keuntungan yang dapat diharapkan.
1.      Para siswa terlibat lebih aktif dalam proses pembelajaran dan mereka dapat mengungkapkan ide-ide mereka secara lebih sering. Para siswa tak hanya pasif menirukan cara yang dicontohkan gurunya.
2.      Para siswa mempunyai kesempatan yang lebih dalam menggunakan pengetahuan dan keterampilan matematika mereka secara menyeluruh. Ya, mereka terlibat lebih aktif dalam menggunakan potensi pengetahuan dan keterampilan yang sudah dimiliki sebelumnya.
3.      Setiap siswa dapat menjawab permasalahan dengan caranya sendiri. Ini artinya, tiap kreativitas siswa dapat terungkapkan.
4.      Pembelajaran dengan menggunakan open-ended problems semacam ini memberikan pengalaman nyata bagi siswa dalam proses bernalar.
5.      Ada banyak pengalaman-pengalaman (berharga) yang akan didapatkan siswa dalam bentuk kepuasan dalam proses penemuan jawaban dan juga mendapat pengakuandfdarisdsiswa-siswa lainnya.
C.  Mengkonstruksi Masalah Open-Ended
Menurut Suherman, dkk (2003 : 129-130) mengkonstruksi dan mengembangkan masalah Open-Ended yang tepat dan baik untuk siswa dengan tingkat kemampuan yang beragam tidaklah mudah. Akan tetapi berdasarkan penelitian yang dilakukan di Jepang dalam jangka waktu yang cukup panjang, ditemukan beberapa hal yang dapat dijadikan acuan dalam mengkonstruksi masalah, antara lain sebagai berikut:
·               Menyajikan permasalahan melalui situasi fisik yang nyata di mana konsep-konsep matematika dapat diamati dan dikaji siswa.
·               Menyajikan soal-soal pembuktian dapat diubah sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan hubungan dan sifat-sifat dari variabel dalam persoalan itu.
·               Menyajikan bentuk-bentuk atau bangun-bangun (geometri) sehingga siswa dapat membuat suatu konjektur.
·               Menyajikan urutan bilangan atau tabel sehingga siswa dapat menemukan aturan matematika.
·               Memberikan beberapa contoh konkrit dalam beberapa kategori sehingga siswa bisa mengelaborasi siifat-sifat dari contoh itu untuk menemukan sifat-sifat dari contoh itu untuk menemukan sifat-sifat yang umum.
·               Memberikan beberapa latihan serupa sehingga siswa dapat menggeneralisasai dari pekerjaannya.
D.   Menyusun Rencana Pendekatan Open-Ended
Apabila guru telah mengkonstruksikan atau menformulasi masalah Open-Ended dengan baik, tiga hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran sebelum masalah itu ditampilkan di kelas adalah :
1. Apakah masalah itu kaya dengan konsep-konsep matematika dan berharga?
Masalah Open-Ended harus medorong siswa untuk berpikir dari berbagai sudut pandang. Disamping itu juga harus kaya dengan konsep-konsep matematika yang sesuai untuk siswa berkemampuan tinggi maupun rendah dengan menggunakan berbagai strategi sesuai dengan kemampuannya.
2. Apakah tingkat matematika dari masalah itu cocok untuk siswa?
Pada saat siswa menyelesaikan masalah Open-Ended, mereka harus menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka punya. Jika guru memprediksi bahwa masalah itu di luar jangkauan kemampuan siswa, maka masalah itu harus diubah/diganti dengan masalah yang berasal dalam wilayah pemikiran siswa.
3.  Apakah masalah itu mengundang pengembangan konsep matematika lebih lanjut?
Masalah harus memiliki keterkaitan atau hubungan dengan konsep-konsep matematika yang lebih tinggi sehingga dapat memacu siswa untuk berpikir tingkat tinggi.
Pada tahap ini hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan rencana pembelajaran yang baik adalah sebagai berikut:
·         Tuliskan respon siswa yang diharapkan.
Pembelajaran matematika dengan pendekatan Open-Ended, siswa diharapkan merespons masalah dengan berbagai cara sudut pandang. Oleh karena itu, guru harus menyiapkan atau menuliskan daftar antisipasi respons siswa terhadap masalah. Kemampuan siswa terbatas dalam mengekpresikan ide atau pikirannya, mungkin siswa tidak akan mampu menjelaskan aktivitasnya dalam memecahkan masalah itu. Tetapi mungkin juga siswa mampu menjelaskan ide-ide matematika dengan cara yang berbeda. Dengan demikian, antisipasi guru membuat atau menuliskan kemungkinan repsons yang dikemukakan siswa menjadi penting dalam upaya mengarahkan dan membantu siswa memecahkan masalah sesuai dengan cara kemampuannya.
·         Tujuan dari masalah itu diberikan kepada siswa harus jelas.
Guru memahami dengan baik peranan masalah itu dalam keseluruhan rencana pembelajaran. Masalah dapat diperlakukan sebagai topik yang tertentu, seperti dalam pengenalan konsep baru kepada siswa, atau sebagai rangkuman dari kegiatan belajara siswa. Berdasarkan pengalaman, masalah Open-Ended efektif untuk pengenalan konsep baru atau rangkuman kegiatan belajar.
·         Sajikan masalah semenarik mungkin bagi siswa
Konteks permasalahan yang diberikan atau disajikan harus dapat dikenal baik oleh siswa, dan harus membangkitkan keingintahuan serta semangat intelektual siswa. Oleh karena masalah Open-Ended memerlukan waktu untuk berpikir dan mempertimbangkan strategi pemecahannya, maka masalah itu harus mampu menarik perhatian siswa.
·         Lengkapi prinsip formulasi masalah, sehingga siswa mudah memahami maksud masalah itu
Masalah harus diekspresikan sedemikian rupa sehingga siswa dapat memahaminya dengan mudah dan menemukan pendekatan pemecahannya. Siswa dapat mengalami kesulitan, bila eksplanasi masalah terlalu singkat. Hal itu dapat timbul karena guru bermaksud memberikan terobosan yang cukup kepada siswa untuk memilih cara dan pendekatan pemecahan masalah. Atau dapat pula diakibatkan siswa memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki pengalaman belajar karea terbiasa megikuti petunjuk-petunjuk dari buku teks.
·         Berikan waktu yang cukup bagi siswa untuk mengekplorasi masalah.
Terkadang waktu yang dialokasikan tidak cukup dalam menyajikan masalah, memecahkannya, mendiskusikan pendekatan dan penyelesaian,, dan merangkum dari apa yang telah dipelajari siswa. Karena itu, guru harus memberi waktu yang cukup kepada siswa untuk mengekplorasi masalah. Berdiskusi secara aktif antar sesama siswa dan antara siswa dengan guru merupakan interaksi yang sangat penting dalam pembelajaran dengan pendekatan Open-Ended. (Tim MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika. 2001 : 119)


E. Langkah-Langkah Menggunakan Open-Ended untuk Memotivasi Berpikir  Matematika
Pendekatan open-ended dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk memperoleh pengetahuan/ pengalaman menemukan, mengenali, dan memecahkan masalah dengan beberapa teknik. Namun, pada pendekatan open-ended masalah yang diberikan adalah masalah yang bersifat terbuka (open-ended problem) atau masalah tidak lengkap (incomplete problem). Sedangkan dasar keterbukaan masalah diklasifikasikan dalam tiga tipe, yakni:
(1)      Prosesnya terbuka, maksudnya masalah itu memiliki banyak cara penyelesaian yang benar,
(2)      Hasil akhirnya terbuka, maksudnya masalah itu memiliki banyak jawaban yang benar, dan
(3)      Cara pengembangan lanjutannya terbuka, maksudnya ketika siswa telah menyelesaikan masalahnya, mereka dapat mengembangkan masalah baru yaitu dengan cara merubah kondisi masalah sebelumnya (asli).

Sebagai contoh, perhatikan masalah berikut.
(1)     Pada suatu kompetisi sepak bola, komisi pertandingan mencatat jumlah penjualan tiket penonton, pada pertandingan hari kamis tiket penonton terjual 2457 lembar, pada hari sabtu dan minggu berturut-turut terjual 3169 lembar dan 4852 lembar. Hitung jumlah tiket yang terjual dari tiga kali pertandingan tersebut.
(2)    Buatlah tiga bilangan yang terdiri dari empat angka yang menggunakan setiap angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 paling sedikit satu kali, dengan syarat, jumlah tiga bilangan tersebut sama dengan 10.478.
(Mumun Syaban : 2009)
Berdasarkan kriteria di atas, masalah (i) merupakan masalah rutin dan tidak termasuk masalah terbuka, karena prosedur yang digunakan untuk menentukan penyelesaiannya sudah tertentu yakni hanya menambahkan ketiga bilangan dan hanya memiliki satu jawaban yang benar. Sedangkan masalah (ii) termasuk masalah terbuka (open-ended problem) dan bukan masalah rutin. Keterbukaan masalah ini meliputi keterbukaan proses, keterbukaan hasil akhir dan keterbukaan pengembangan lanjutan (silahkan dicoba menjawabnya). Masalah ini juga bukan masalah rutin, karena tidak memiliki prosedur tertentu untuk menjawabnya. Tujuan dari pembelajaran dengan pendekatan open-ended adalah, siswa diharapkan dapat mengembangkan ide-ide kreatif dan pola pikir matematis.
Dengan diberikan masalah yang bersifat terbuka, siswa terlatih untuk melakukan investigasi berbagai strategi dalam menyelesaikan masalah. Selain itu siswa akan memahami bahwa proses penyelesaian suatu masalah sama pentingnya dengan hasil akhir yang diperoleh. Berdasarkan pengertian dan tujuan pembelajaran dengan pendekatan open-ended di atas, perlu digaris bawahi bahwa pendekatan open-ended memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir bebas sesuai dengan minat dan kemampuannya.
Dengan demikian kemampuan berpikir matematis siswa dapat berkembang secara maksimal dan kegiatan-kegiatan kreatif siswa dapat terkomunikasikan melalui proses pembelajaran.

F.  Pertanyaan Open-Ended
Dalam proses pembelajaran dengan pendekatan open-ended, biasanya lebih banyak digunakan soal-soal open-ended sebagai instrumen dalam pembelajaran. Terdapat keserupaan terhadap pengertian mengenai soal open-ended. Hancock (1995 : 496) dan Berenson (1995:183) menyatakan bahwa soal open-ended adalah soal yang memiliki lebih dari satu penyelesaian dan cara penyelesaian yang benar. Dengan demikian ciri terpenting dari soal open-ended adalah tersedianya kemungkinan dapat serta tersedia keleluasaan bagi siswa untuk memakai sejumlah metode yang dianggapnya paling sesuai dalam menyelesaikan soal itu. Dalam arti, pertanyaan pada bentuk open-ended diarahkan untuk menggiring tumbuhnya pemahaman atas masalah yang diajukan. Di dalam menyusun suatu pertanyaan open ended ada dua teknik yang dapat dilakukan.
1.      Teknik bekerja secara terbalik (working backward).
Teknik ini terdiri dari tiga langkah, yaitu:
a.   mengidentifikasi topik
b.   memikirkan pertanyaan dan menuliskan jawaban lebih dulu
c.  membuat pertanyaan open-ended didasarkan pada jawaban yang telah dibuat.
2. Teknik penggunaan pertanyaan standar (adapting a standard question). Teknik ini juga terdiri dari tiga langkah yaitu:
a.   mengidentifikasi topik
b.   memikirkan pertanyaan standar
c.  membuat pertanyaan open-ended yang baik berdasarkan pertanyaan standar yang telah dibuat.
Tingkat berpikir matematika untuk menyusun pertanyaan open-ended sebaiknya disesuaikan dengan tingkat berpikir matematika. Tingkat berpikir yang dikemukakan oleh Bloom yang dikenal dengan taksonomi Bloom (Bloom, 1956) mengklasifikasikan tingkat berpikir kedalam enam tingkat, yaitu: Memory, Comprehension, Application, Analysis, Synthesis and Evaluation. Sedangkan Sanders (dalam Way, 2003) level Comprehension dibagi kedalam dua katagori yaitu: Translation dan Interpretation, sehingga tingkatan berpikir yang digunakan dalam matematika menjadi tujuh level  seperti berikut:
1.      Memory atau sering disebut juga pengetahuan (knowledge) atau ingatan (recall) atau komputasi (computation). Pada jenjang ini siswa dituntut untuk mampu menggali atau mengingat kembali (memory) pengetahuan yang telah disimpan di dalam skemata struktur kognitifnya. Hal-hal yang termasuk ke dalam jenjang kognitif ini adalah berupa pengetahuan tentang fakta dasar, terminologi (peristilahan), atau manipulasi yang sifatnya sudah rutin (algoritma EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Budaya http://educare.e-fkipunla.net Generated: 16 February, 2009, 15:58rutin).
2.      Translation: Kemampuan siswa untuk merubah informasi kedalam simbul atau bahasa yang berbeda.
3.      Interpretation: Kemampuan siswa untuk mencari hubungan antara fakta, konsep, prinsip, aturan, dan generalisasi.
4.      Application: Kemampuan untuk memilih, menggunakan, dan menerapkan dengan tepat suatu teori atau cara pada situasi baru. Tahap aplikasi ini melibatkan sejumlah respon. Respon tersebut ditransfer kedalam situasi baru yang berarti konteksnya berlainan. Bloom dan kawan-kawan membagi kedalam empat bagian, yaitu:
·         Kemampuan untuk menyelesaikan masalah rutin;
·         Kemampuan untuk membandingkan;
·         Kemampuan untuk menganalisis data, dan
·         kemampuan untuk mengenal pola, isomorfisma dan simetri.
5.      Analysis: Kemampuan untuk merinci atau menguraikan suatu masalah (soal) menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (komponen) serta mampu untuk memahami hubungan diantara bagian-bagian tersebut. Kemampuan siswa untuk memecahkan masalah nonrutin termasuk kedalam jenjang ini, yaitu kemampuan untuk mentransfer pengetahuan matematika yang telah dipelajari terhadap konteks baru. Pemecahan masalah bisa berupa menguraikan suatu masalah menjadi bagian-bagian.uatu kesatuan Kemudian mengkaji, serta menyusun kembali bagian-bagian tersebut menjadi suatu kesatuan sehingga merupakan penyelesaian akhir. Tahap analisis ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: Analisis terhadap elemen, analisis terhadap hubungan dan analisis terhadap aturan.
6.      Synthesis: Kemampuan berpikir yang merupakan kebalikan dari suatu proses analisis. Sisntesis merupakan suatu proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logik sehingga menjadi sutu pola terstruktur atau bentuk baru. Kemampuan untuk menemukan hubungan, kemampuan menyususn pembuktian, dan kemampuan berpikir kreatif termasuk kemampuan synthesis.
7.      Evaluation: Kemampuan seseorang untuk dapat memberikan pertimbangan (judgement) terhadap suatu situasi, ide, metode berdasarkan suatu patokan atau kriteria. Kemudian setelah memberikan pertimbangan dengan matang dilanjutkan dengan memberikan suatu kesimpulan.

Mengembangkan Rencana Pembelajaran Setelah guru menyusun suatu masalah open-ended dengan baik, langkah selanjutnya adalah mengembangkan rencana pembelajaran. Pada tahap ini hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
1.      Tuliskan respon siswa yang diharapkan Siswa diharapkan merespon masalah yang diberikan dengan berbagai cara.
2.      Tujuan yang harus dicapai dari masalah yang diberikan harus jelas.
3.      Sajikan masalah dengan cara dan bentuk yang menarik
4.      Berikan informasi dalam masalah selengkap mungkin  
5.      Berikan waktu yang cukup kepada siswa untuk mengeksplorasi masalah

Oleh karena itu guru dapat membagi waktu dalam dua periode. Periode pertama, siswa bekerja secara individual atau kelompok dalam memecahkan masalah dan membuat rangkuman dari hasil pemecahan masalah. Peride kedua, digunakan untuk diskusi kelas mengenai strategi dan pemecahan serta penyimpulan dari guru.
(http://educare.e-fkipunla.net Generated: 16 February, 2009, 15:58)
G.  Keunggulan dan Kelemahan Pendekatan Open-Ended
Keunggulan Pendekatan Open-Ended
            Pendekatan Open-Ended ini menurut Suherman, dkk (2003:132) memiliki beberapa keunggulan antara lain:
·         Siswa berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran dan sering mengekspresikan idenya.
·         Siswa memiliki kesempatan lebih banyak dalam memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan matematik secara komprehensif.
·         Siswa dengan kemapuan matematika rendah dapat merespon permasalahan dengan cara mereka sendiri.
·         Siswa secara intrinsik termotivasi untuk memberikan bukti atau penjelasan.
·         Siswa memiliki pengelaman banyak untuk menemukan sesuatu dalam menjawab permasalahan.
Kelemahan Pendekatan Open-Ended
            Disamping keunggulan, menurut Suherman, dkk (2003;133) terdapat pula kelemahan dari pendekatan Open-Ended, diantaranya:
·         Membuat dan menyiapkan masalah matematika yang bermakna bagi siswa bukanlah pekerjaan mudah.
·         Mengemukakan masalah yang langsung dapat dipahami siswa sangat sulit sehingga banyak siswa yang mengalami kesulitan bagaimana merespon permasalahan yang diberikan.
·         Siswa dengan kemampuan tinggi bisa merasa ragu atau mencemaskan jawaban mereka.
·         Mungkin ada sebagian siswa yang merasa bahwa kegiatan belajar mereka  tidak menyenangkan karena kesulitan yang mereka hadapi

PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL


          PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
          Oleh: Tusiran



A.    Latar Belakang

Sering sekali guru  kecewa bila melihat kembali nilai hasil belajar siswa. Sering sekali guru  kecewa bila melihat Sikap siswa ketika KBM sedang berlangsung. Pada hal bila kita melihat kembali psikologi siswa kita belum sekolah, Anak terlihat  lincah , Selalu belajar apa yang diinginkannya dengan gembira, riang , menggunakan segala sesuatu yang terdapat di sekitarnya, yang menarik perhatiannya  dan anak membangun sendiri pengetahuan dan pemahaman lewat pengalaman nyata sehari-hari. Namun setelah anak memasuki sebuah lembaga sekolah banyak perubahan yang terjadi diantaranya Anak dipaksa belajar dengan cara guru,Suasana tegang, Seringkali tidak bermakna, Seringkali siswa belajar sesuatu tidak menarik perhatiannya, Telah terjadi “penjinakan” pada anak dan makin tinggi kelas anak, makin kurang inisiatif dan keberanian bertanya/mengemukakan pendapatnya, Apa yang terjadi dengan cara pembelajaran yang dilakukan oleh guru.

Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna bila anak “ mengalami” apa yang dipelajarinya, bukan “mengetahuinya” Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi” Mengingat” jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak dalam memecahkan persoalan kehidupan jangka panjang.

Pendekatan Kontekstual ( Contextual Teaching and Learning/CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan sebagai anggota keluarga dan masyarkat.
Pendekatan kontekstual menjadi pilihan bagi para guru karena sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta. Kelas masih  berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi belajar. Karena itu perlu sebuah pendekatan belajar yang lebih memberdayakan siswa yaitu CTL (Contextual Teaching and Learning). CTL lahir melalui landasan filosofi kontruktivisme bahwa pengetahuan bukanlah seperangkat fakta atau konsep yang siap diterima, tetapi sesuatu yang harus di kontruksi sendiri oleh siswa.

B.     Kecenderungan Pemikiran CTL Tentang Belajar

            Pendekatan Kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut:
1.      Proses belajar
§ Belajar tidak hanya sekedar menghafal, siswa harus mengontruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri.
§ Anak belajar dari mengalami
§ Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimilki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan(subject matter).
§ Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
§ Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.
§ Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah,menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide.
§ Proses belajar dapat mengubah struktur otak.

2.      Transfer Belajar
§  Siswa belajar mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain
§ Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit) dan sedikit demi sedikit.
§ Penting bagi siswa tahu untuk apa ia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilannya itu
§ Anak harus tahu makna belajar dan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya.
3.      Siswa Sebagai Pembelajar
Tugas guru mengatur strategi belajar, membantu menghubungkan pengetahuan lama dan baru dan memfasilitasi belajar.
                                                                        Depdiknas (2002 : 3-4)

C.    Rumusan pembahasan CTL

Pada makalah ini akan di  uraikan tentang :
1.   Hakikat Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
2.   Penerapan pendekatan Kontekstual di Kelas
3.   Komponen komponen CTL
4.   Menyusun Rencana pembelajaran berbasis CTL
5.   Lembar Aktivitas Siswa ( LAS) Pembelajaran berbasis CTL










BAB II
PEMBAHASAN

A.  Hakikat Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
            Pendekatan Kontekstual ( Contextual Teaching and Learning) adalah konsep Belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya alam kehidupan mereka sehari-hari.
            Pendefinisian pembelajaran dengan pendekatan kontekstual yang dikemukakan oleh ahli sangatlah beragam, namun pada dasarnya memuat faktor-faktor yang sama. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan mengambil, mensimulasikan, menceritakan, berdialog, bertanya jawab atau berdiskusi pada kejadian dunia nyata kehidupan sehari-hari yang dialami siswa, kemudian diangkat kedalam konsep yang akan dipelajari dan dibahas. Melalui pendekatan ini, memungkinkan terjadinya proses belajar yang di dalamnya siswa mengeksplorasikan pemahaman serta kemampuan akademiknya dalam berbagai variasi konteks, di dalam ataupun di luar kelas, untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya baik secara mandiri ataupun berkelompok. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Berns dan Ericson (2001), yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah suatu konsep pembelajaran yang dapat membantu guru menghubungkan materi pelajaran dengan situasi nyata, dan memotivasi siswa untuk membuat koneksi antara pengetahuan dan penerapannya dikehidupan sehari – hari  dalam peran mereka sebagai anggota keluarga, warga negara dan pekerja, sehingga mendorong motivasi mereka untuk bekerja keras dalam menerapkan hasil belajarnya.
            Dengan demikian pembelajaran kontekstual merupakan suatu sistem pembelajaran yang didasarkan pada penelitian kognitif, afektif dan psikomotor, sehingga guru harus merencanakan pengajaran yang cocok dengan tahap perkembangan siswa, baik itu mengenai kelompok belajar siswa, memfasilitasi pengaturan belajar siswa, mempertimbangkan latar belakang dan keragaman pengetahuan siswa, serta mempersiapkan cara-teknik pertanyaan dan pelaksanaan assessmen otentiknya, sehingga pembelajaran mengarah pada peningkatan kecerdasan siswa secara menyeluruh untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
a.      Kata Kunci Pembelajaran CTL
Suatu pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) memiliki beberapa kata kunci yaitu :
1.      Real Word Learning
2.      Mengutamakan Pengalaman nyata
3.      Berfikir tingkat tinggi
4.      Berpusat pada siswa
5.      Siswa aktif, kritis dan kreatif
6.      Pengetahuan bermakna dalam kehidupan
7.      Dekat dengan kehidupan nyata
8.      Perubahan perilaku
9.      Siswa praktek bukan menghafal
10.  Learning Bukan Teaching
11.  Pendidikan (education) bukan pengajaran (instruction)
12.  Pembentukan Manusia
13.  Siswa Akting guru mengarahkan
14.  Memecahkan masalah
15.  Hasil belajar diukur dengan berbagai cara bukan hanya dengan tes

b.      Strategi Pengajaran yang berassosiasi dengan CTL
Strategi pembelajaran yang berassosiasi dengan contextual teaching and Learning (CTL) adalah:
1.      CBSA ( cara belajar Siswa aktif)
2.      Pendekatan keterampilan proses
3.      Life Skill Education
4.      Authentic Intruction
5.      Inquary Based Learning
6.      Cooperative Learning
7.      Service Learning
c.       Lima Elemen Belajar yang Konstruktivisme
Menurut Zahorik (Nurhadi) ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran kontekstual, yaitu :
1.    Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge)
2.    Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya.
3.    Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara menyusun (a) Konsep sementara (hipotesis), (b) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validisasi) dan atas dasar tanggapan itu (c) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan.
4.    Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge)
5.    Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.

d.      Perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan Tradisional (Behaviorisme/Strukturalisme)
Beberapa perbedaan antara pendekatan kontekstual (CTL) dengan Pendekatan Tradisional ( Behaviorisme/Strukturalisme) yaitu sebagai berikut :
No.
Pendekatan Kontekstual
Pendekatan Tradisional
1.
Menyandarkan pada memori spasial (pemahaman makna)
Menyandarkan pada hafalan
2.
Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan siswa
Pemilihan informasi di-tentukan oleh guru
3.
Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran
Siswa secara pasif menerima informasi
4.
Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata/masalah yang disimulasikan
Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis
5.
Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai saatnya diperlukan
6.
Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang
Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu
7.
Keterampilan dikem-bangkan atas dasar pemahaman
Keterampilan dikem-bangkan atas dasar latihan
8.
Hadiah dari perilaku baik adalah kepuasan diri
Hadiah dari perilaku baik adalah pujian atau nilai (angka) rapor
9.
Siswa tidak melakukan hal yang buruk karena sadar hal tsb keliru dan merugikan
Siswa tidak melakukan sesuatu yang buruk karena takut akan hukuman
10.
Perilaku baik berdasar-kan motivasi intrinsik
Perilaku baik berdasar-kan motivasi ekstrinsik
11.
Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan setting
Pembelajaran hanya terjadi dalam kelas
12.
Hasil belajar diukur  melalui penerapan penilaian autentik.
Hasil belajar diukur melalui kegiatan akademik dalam bentuk tes/ujian/ulangan.

B.  Penerapan pendekatan Kontekstual di Kelas
Penerapan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual di dalam kelas tidaklah sulit, karena pendekatan pembelajaran ini menurut The Nortwest Regional Education Laboratory USA (Suherman, 2002) memiliki karakteristik utama, yaitu Constructivism, Inquiry, Questioning, Learning Community, Modeling, Reflection dan Authentic Assesment. Hal ini seperti yang diungkapkan Depdiknas (Nurhadi, 2002), yang menyatakan bahwa:
Penerapan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, sintaks (langkahnya) adalah berikut ini :
1.      Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara mereka sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya.
2.      Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
3.      Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
4.      Ciptakan ‘masyarakat belajar’ (belajar dalam kelompok-kelompok).
5.      Hadirkan ‘model’ sebagai contoh pembelajaran.
6.      Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
7.      Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara

Aktifitas pembelajaran dengan pendekatan kontekstual yang dikembangkan menurut Bern dan Se Stefano (Suryadi, 2005) memiliki beberapa komponen, yaitu  :
1.         Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dimulai dengan menghadapkan siswa kedalam suatu permasalahan nyata atau disimulasikan yang menantang, agar siswa dapat termotivasi untuk menyelesaikannya. Ketika siswa berhadapan dengan permasalahan itu, mereka menyadari bahwa hal tersebut dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, artinya mereka akan menyadari bahwa untuk menyelesaikan permasalahan tersebut siswa harus dapat mengkonstruksi pengetahuan secara kritis dengan cara mengkoneksikan, mengintegrasikan serta mengeksplorasi informasi, ide-ide serta konsep pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu yang ia miliki.

2.         Belajar dengan Multi Konteks
Belajar dengan multi konteks artinya siswa belajar disesuaikan dengan melibatkan keadaan kondisi sehari – hari, sehingga pengetahuan yang didapat dari sekolah dapat diaplikasikan di tempat kerja, di rumah, bahkan di lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu proses belajar siswa dalam mendapatkan pengetahuan diperoleh melalui suatu pengkoordinasian yang melibatkan konteks sosial dan fisik, sehingga setting pembelajaran dapat dilakukan di dalam atau di luar ruang kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Sears dan Hersh (2001) yang mengasumsikan bahwa pengetahuan tidak mungkin dapat dipisahkan dari konteks dan aktivitas yang terkait dengan proses pengembangan pengetahuan tersebut. Dengan demikian, bagaimana seseorang belajar, harus memperhatikan situasi – kondisi di mana dia belajar sehingga mampu mendapatkan pengetahuan secara bermakna.

3.         Self-Regulated Learning (SRL)
Pengaturan belajar mandiri (Self Regulated Learning) menurut Bern dan Se Stefano, mencakup tiga karakteristik sentral yaitu : (1) kesadaran berpikir, (2) penggunaan strategi, dan (3) pemeliharaan motivasi. Pengembangan sifat SRL pada diri seseorang meliputi peningkatan kesadaran tentang berpikir efektif serta kemampuan menganalisis kebiasaan berpikir. Seseorang memiliki peluang untuk mengembangkan keterlibatannya secara pribadi dalam kegiatan observasi, evaluasi, dan bertindak untuk mengarahkan tiap rencana yang dia buat, strategi yang dipilih, serta evaluasi tentang pekerjaan yang dihasilkan. Agar motivasi belajar siswa selalu terpelihara baik, maka beberapa aspek yang perlu diperhatikan adalah tujuan aktivitas yang dilakukan, tingkat kesulitan serta nilainya, persepsi siswa tentang kemampuannya untuk mencapai tujuan tersebut, dan persepsi siswa apabila mereka berhasil atau gagal dalam mencapai tujuan  pembelajaran. Dengan demikian SRL meliputi sikap dan kesadaran berpikir, penggunaan strategi, serta motivasi siswa dalam belajar.





Peranan siswa dan guru dalam SRL dapat dirangkum dalam di bawah ini
Tabel 1
Peran Siswa dan Guru dalam Self Regulated Learning

Peran Siswa

Peran Guru

·         Berperan aktif dalam proses belajar
·         Mendefiniskan tujuan belajar serta masalah yang bermakna secara personal

·         Menumbuhkan motivasi dari kebermaknaan tujuan, proses dan keterlibatan dalam belajar


·         Memfasilitasi lingkungan belajar yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan pengaturan belajar secara mandiri.
·         Menciptakan kesempatan untuk terjadinya aktifitas pribadi yang terkendali, bekerja kelompok, dan berbagi pengetahuan.

·         Mempertimbangkan berbagai macam pilihan strategi serta memilih strategi yang dianggap paling sesuai untuk mencapai tujuan
·         Menyadari serta melakukan umpan balik atas proses berpikir yang dilakukannya dan secara berkelanjutan  mengembangkan pembelajarannya.
·         Memperoleh makna serta pengetahuan dan melakukan transfer atau aplikasi pada pemecahan masalah yang dihadapi secara kreatif dan inovatif
·         Berfikir secara refleksi sebagai alat untuk mengembangkan aspek kognitif dan transfer pengetahuan.
·         Berpartisipasi dalam evaluasi untuk pengembangan kemajuannya.
·         Membimbing siswa untuk belajar sebagaimana mestinya.
·         Bertindak sebagai fasilitas dan pembimbing
·         Menjadi model, mediator, dan moderator yang kondisional dengan kebutuhan siswa
·         Membantu siswa untuk mengkoneksikan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru.
·         Aktif mendengarkan, bertanya, menyediakan balikan, serta menolong siswa untuk selalu terfokus pada permasalahan yang dihadapi
     Sumber : Dimodifikasi dari Suryadi (2005)



C.  Komponen komponen CTL
Ada tujuh komponen CTL yaitu :
1.      Konstruktivisme
Kontruktivisme merupakan landasan berfikir(filosofi) pendekatan CTL yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas menjadi konteks yang terbatas atau sempit dan tidak sekonyong-konyong. Landasan berfikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivisme.yang menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivisme strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.
2.      Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bgian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetpi hasil dari menemukan sendiri. Siklus Inquiry terdiri dari :
a.       Observasi ( Observation)
b.      Bertanya ( Questioning)
c.       Mengajukan Dugaan ( Hipotesis)
d.      Mengumpulkan data ( data Gathering)
e.       Penyimpulan ( Conclussion)
3.      Bertanya (Qustioning)
Questioning (bertanya) merupakan strategi Utama pembelajaran yang berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran di pandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbingdan menilai kemampuan berpikir siswa.
4.      Masyarakat Belajar ( Learning Community)
Konsep Learning Community menyarankan agar hasil pembelajaran diproleh dari hasil kerjasama dengan orang lain.Hasil belajar diproleh dari sering antar teman, antar kelompok. Masyarakat belajar terjadi apabila ada proses komunikasi. Praktek dalam pembelajaran terwujud dalam pembentukan kelompok kecil atau kecil, mendatangkan tim ahli ke kelas, bekerja dengan kelas sederajat, bekerja kelompok dengan kelas diatasnya, bekerja dengan masyarakat.
5.      Pemodelan (Modeling)
Dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu ada model yang bias di tiru. Model itu dapat berupa cara mengoperasikan sesuatu atau memberikan contoh cara mengerjakan sesuatu. Dalam CTL guru bukanlah satu-satunya model , model dapat dirancang dengan melibatkan siswa.
6.      Refleksi (Reflection)
Refleksi  juga bagian penting dalam CTL. Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan dimasa lalu. Kata kunci dari refleksi adalah bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa. Siswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana merasakan ide baru. Realisasi refleksi dapat berupa Pernyataan lanngsung tentang apa yang telah diperoleh setelah pembelajaran dapat berupa catatan atau jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran , diskusi atau hasil karya.
7.      Penilaian Yang Sebenarnya(Authentic Assessment)
Assesment adalah proses pengumpulan berbagai data yang dapat memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambar perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar dapat memastikan siswa mengalami proses pemelajaran dengan benar.Kemajuan belajar dinilai dari proses bukan melulu hail. Hal hal yang biasa digunakan sebagai dasar menilai prestasi Siswa adalah :
1.      Proyek/kegiatan dan laporannya         6. Demonstrasi
2.      PR                                                       7. Laporan
3.      Kuis                                                     8. Jurnal
4.      Karya Siswa                                        9. Hasil Tes tertulis
5.      Presentasi dan Penampilan siswa        10. Karya tulis
Intinya dengan Authentic Assessment bahwa pertanyaan yang ingin dijawab adalah “ apakah anak-anak belajar?’ Bukan “ apa yang sudah diketahui. Jadi siswa dinilai kemampuannya dengan berbagai cara . tidak hanya dari hasil ulangan tulis.